Pada 8 Mei, dunia kembali memperingati berdirinya Palang Merah Internasional (PMI). Sorotan hendaknya diarahkan kepada seorang muda yang mencetus berdirinya organisasi kemanusiaan ini. Jean Henri Dunant (1828-1910)-salah seorang warga negara Swiss-merupakan Bapak Palang Merah Dunia. Beliau dikenal sebagai seorang yang murah hati. Ia menyaksikan perang dahsyat antara Prancis dan Italia melawan pasukan Austria di Solferino, Italia Utara pada saat dalam perjalanan menemui kaisar Prancis Napoleon III. Puluhan ribu tentara terluka akibat perang dahsyat tersebut. Bantuan medis sudah kocar kacir menolong korban yang masing-masing perlu untuk didahului ditolong. Medis tetap saja tidak cukup merawat empat puluh ribu orang korban kekejaman perang tersebut.
Henri bisa saja berlalu pada saat itu. Ia memiliki dua alasan: bukan urusannya dan punya urusan lain. Namun hatinya tidak mengijinkannya berbuat seperti itu. Hatinya tergetar menyaksikan sorot mata duka dan pekikan kesakitan dari para korban perang. Dalam bayangan saya, ia mungkin saja sudah mencoba memejamkan mata dan menutup telinga untuk tidak mendengar raungan derita dan tidak melihat penderitaan sesamanya. Namun ia tak mampu. Ia kalah oleh hati nuraninya. Hatinya mencegah saat ia ingin berlalu. Hatinya melihat dan mendengar saat mata dan telinganya tertutup.
Kemudian hatinya berkata bahwa ia harus menyingsingkan lengan baju untuk menolong para korban tersebut. Ia mengusir bayangan sedang berada dalam kenikmatan jamuan Napoleon dan bersama masyarakat setempat menolong para korban. Tidak berhenti begitu saja, saat Henri ke Swiss, ia mungkin masih terbayang-bayang akan penderitaan korban perang di tempat lain. Korban perang yang memiliki sorot mata dan jeritan yang sama seperti yang ia lihat di Solferino. Ia pun menulis pengalamannya di Solferino tersebut dalam sebuah buku berjudul "Kenangan dari Solferino." yang mengguncang seluruh daratan Eropa.
Dalam bukunya, Henri mengemukakan dua gagasan dalam bukunya. Gagasan yang mungkin dianggap sebagai sesuatu yang mustahil pada zaman tersebut. Namun sepertinya ia punya keinginan yang kuat untuk menolong korban perang yang sama di tempat lain. Gagasan yang melukiskan kerinduan dia agar dunia dapat mencegah kematian dalam perang terlalu banyak. Gagasan pertama yaitu membentuk organisasi kemanusiaan internasional yang bisa dipersiapkan sejak masa damai untuk menolong prajurit-prajurit yang terluka pada medan perang. Kedua, mengadakan perjanjian internasional guna melindungi prajurit yang cedera di medan perang serta perlindungan sukarelawan dan organisasi tersebut pada waktu memberikan pertolongan pada saat perang.
Pada tahun 1863, empat orang warga kota Jenewa bergabung dengan Henri Dunant untuk mengembangkan gagasan pertama tersebut. Mereka bersama-sama membentuk "Komite Internasional untuk bantuan para tentara yang cedera", yang sekarang disebut Komite Internasional Palang Merah atau International Committee of the Red Cross (ICRC).
Gagasan kedua diwujudkan pada tahun 1864 atas prakarsa Swiss. Konferensi ini mencetus adanya "Konvensi perbaikan kondisi prajurit yang cedera di medan perang." Konvensi ini kemudian disempurnakan dan dikembangkan menjadi konvensi Jenewa I, II, III, dan IV tahun 1949 atau dikenal sebagai Konvensi Palang Merah. Konvensi ini merupakan salah satu komponen dari Hukum Perikemanusiaan Internasional (HPI) yang mengatur perlindungan dan bantuan korban perang.
Sampai saat ini saja kita sudah dapat melihat apa yang dilakukan oleh seorang manusia seperti Henri Dunant. Manusia yang sederhana dengan ketulusan hati ingin menolong menghasilkan sebuah organisasi palang merah yang sudah tak terhitung lagi menyelamatkan manusia sampai hari ini. Adakah dari manusia Indonesia sekarang yang masih mau kembali berbalik seperti Henri meninggalkan seluruh aktivitasnya jikalau ada sesamanya yang membutuhkan pertolongan?
Masyarakat Indonesia apalagi di kota-kota besar kini sudah dikenal individualis. Tidak seperti di desa yang masih memiliki persaudaraan yang kuat, di kota masing-masing hidup seperti bukan menjadi sebuah masyarakat. Namun satu orang dengan orang lain seperti memiliki pagar yang tinggi. Pagar yang mencegah orang lain untuk masuk dan menghalangi diri untuk menyentuh orang lain. Makanya masyarakat sekarang ini mengenal istilah, "Bukan Urusanku, itukan urusan kamu atau dia."
Sungguh tidak terbayang apabila Henri Dunant berpikir seperti itu (bukan urusanku, itukan urusanmu) saat melintasi Solferino. Ribuan jiwa mungkin akan meninggal tanpa adanya palang merah yang terbentuk dengan kasih, ketulusan, dan pengorbanan Henri sebagai fondasinya. Masyarakat sekarang punya kesibukan, Henri juga punya. Ia sedang dalam perjalanan bertemu Napoleon. Pertemuan penting. Namun ia tinggalkan demi membasuh luka sesamanya yang terluka akibat perang. Orang-orang yang mungkin tidak ia kenal, dan bukan sebangsanya. Selain itu, pertolongan yang ia berikan selain belum tentu dapat menyelamatkan nyawa orang lain juga kemungkinan akan merenggut nyawanya. Saat itu belum ada komite yang mencetus perlindungan korban perang. Ia mungkin dapat terkena serangan saat lawan dari "pasien"nya hendak memburu pasiennya.
Sungguh sebuah ketulusan yang menohok dalam relung hati saya. Sebagai satu bangsa saja, sebagian masyarakat Indonesia sudah enggan saling menolong. Alasan kesibukan menjadi alasan bersikap kurang peduli. Hendaklah masyarakat seperti itu belajar dari Henri mengenai kasih, pengorbanan, dan ketulusan.
Satu hal yang menarik mengenai keluarga atau latar belakang Henry. Ia dilahirkan dalam sebuah keluarga yang dikenal tulus ikhlas dan memiliki pengaruh di Jenewa-kota asal Henri. Orang tuanya dikenal sangat menekankan nilai sosial. Ayahnya aktif membantu anak yatim. Ibunya bekerja dengan orang sakit dan miskin. Ia dididik untuk memiliki cinta kasih terhadap sesama. Ia pernah mendirikan "Kamis Asosiasi" dari kelompok muda pria yang bertemu untuk belajar kitab suci dan membantu masyarakat miskin.
Dari cerita di atas, kita belajar bahwa Henri sendiri tumbuh dalam keluarga yang mendidiknya untuk memiliki cinta kasih terhadap sesama. Ternyata peran keluarga juga cukup penting dalam melahirkan anak yang memiliki cinta kasih dan rela berkorban seperti Henri. Bagaimana dengan kita para orang tua? Apakah kita sudah mendidik anak kita untuk memiliki cinta kasih terhadap sesama? Tentunya kita merindukan agar Indonesia menjadi suatu negara yang damai, penuh cinta kasih, dan siap menolong sesama. Dalam konteks Indonesia, menolong sesama bukan berarti seperti Henri dulu menolong korban perang yang patah tangan dan kaki. Namun Indonesia butuh orang yang menolong sebagian rakyatnya yang merindukan makan. Indonesia butuh orang yang rela memberi asupan pendidikan bagi penerus bangsa yang membutuhkannya.
Banyak sekali aspek yang bisa dilakukan untuk menerapkan cinta kasih. Tentunya penerapan cinta kasih dan
tolong-menolong juga akan memajukan Indonesia dengan sendirinya. Setiap rakyat saling tolong menolong untuk keluar dari jurang kemiskinan dan rawa kebodohan. Karena itu, generasi sekarang perlu berjuang dan berusaha memiliki cinta kasih agar dapat menjadi teladan generasi selanjutnya.
Kiranya Indonesia menjadi negara yang maju, memiliki cinta kasih, dan tolong menolong. Hanya saja, pertanyaannya, siapkah engkau mulai menerapkan cinta kasih, rela berkorban, tolong menolong terhadap sesama (terutama dalam konteks Indonesia) dalam diri Anda?
0 komentar:
Posting Komentar