LELAKI KANVAS
oleh: Ari Laksmi 2010
Lelaki ringkih itu masih duduk mematung, memandangi kanvas kosong seputih salju, rambutnya yang berantakan menjuntai ke punggung kurusnya, jenggot dan kumis yang tumbuh tak beraturan menghiasi wajah tirusnya. sebatang kretek masih menggantung di bibirnya yang kelu. asap rokok terus mengepul memenuhi ruangan yang tidak terlalu luas ini. gelas kosong bekas kopi tadi pagi masih ada di sebelahnya. berbagai macam kuas dan cat minyak bertebaran dimana-mana, menguarkan aroma khas ke angkasa, sedangkan angin bertiup kencang malam ini, masuk melalui jendela yang tak bertirai. mungkin sebentar lagi akan turun hujan. hujan yang akan menghapus setiap kenangan pahit laki-laki ini di tengah tanah kering yang telah membakar hatinya.
"kenapa berdiri disitu?", akhirnya keterkejutanku membangunkanku dari lamunan panjang.
"saya hanya mau menghantarkan kopi", jawabku kelu.
"taruh saja disitu! tolong ambilkan aku rokok sebungkus lagi!",
"tapi Bapak sudah menghabiskan banyak rokok, itu tidak baik untuk kesehatan",
"ah.... jangan mengguruiku! jangan sekali-kali mencoba untuk mengguruiku! lebih baik sekarang kamu pergi dari sini, kembali ke kamarmu dan jangan kesini sebelum kusuruh!",
Air mata bergulir di sepanjang pipiku. ya Tuhan... sakit hati telah membuat laki-laki ini tak berperasaan, bahkan kepada puterinya sendiri. seingatku sebelum perempuan itu menghancurkan hidup Bapak, Bapak adalah seorang laki-laki yang amat lembut, laki-laki yang begitu perhatian dan penyayang. tiba-tiba saja, ingatanku akan perempuan jalang itu berkelebat, perempuan yang tak lain adalah Ibu kandungku sendiri, Ibu yang sudah mengandung dam melahirkanku bukan berdasarkan rasa cinta, Ibu yang sejak awal sudah tidak menginginkan kehidupanku di bumi, tetapi laki-laki ini adalah malaikatku. Bapak sudah berusaha memperjuangkan hidupku, berusaha membujuk Ibu supaya tidak membunuhku sebelum aku sempat merasakan hangatnya mentari pagi. Bapak yang begitu berani mengambil resiko padahal aku bukan darah dagingnya. begitu aku lahir ke bumi, perempuan itu meninggalkan kami. Ibu tidak tahan hidup dengan laki-laki yang pekerjaannya sehari-hari hanya menunggu inspirasi. perempuan itu lebih memilih laki-laki berdasi dengan kepala botak, itu kata Bapakku.
aku terpekur menatap langit hitam bergelayut menahan hujan, suara batuk itu terus terdengar dari kamar sebelah, Oh..... mungkinkah tubuh ringkih itu akan selamanya kuat menanggung berbagai derita?.. air mata kembali menggenangi sudut mataku, aku tak tahan lagi, hatiku hancur. luka nanar yang perih seperti menohok jantungku. aku tak mampu berbuat banyak lagi selain melihat laki-laki itu pelan-pelan digerogoti penyakit. perempuan itu tak sekalipun datang untuk sekedar menanyakan kabar Bapak. aku benci perempuan itu, aku benci telah tumbuh dan lahir dari rahim perempuan itu, perempuan yang tak berperasaan..... akhirnya rinai pertama membasahi tanah merah ini. kesunyian semakin merayapiku, gelap yang begitu hitam perlahan menenggelamkanku pada rasa kantuk yang teramat sangat. aku terlelap, dibuai sepoi angin basah, terkapar sendirian di sudut kosong.
mentari merah muda muncul di balik jendela kamarku, malam yang panjang telah ku lewati bersama mimpi-mimpi aneh yang tiba-tiba muncul dalam lelap tidurku. aku memimpikan Bapak menaiki kereta dengan enam pasang kuda melintasi malam menuju matahari, aku mendesah pelan, benarkah ini hanya mimpi belaka atau sebuah ultimatum yang akan menjadi bom waktu untukku?... suara batuk yang semakin keras telah membawaku ke alam sadar lagi. dingin mengusik kulitku, embun yang bergelayut di ujung dedaunan sebentar lagi akan jatuh, tapi ada apa dengan perasaanku pagi ini?... tiba-tiba aku seperti anak ayam yang kehilangan induk, aku merasa kesepian. bergegas aku turun dari ranjang menuju kamar sebelah, lelaki ringkih itu tertidur meringkuk diatas karpet. bau cat masih menyengat kedua matanya kelihatan sembab, ada lingkaran hitam seperti memar disana.
"Bapak tidak tidur ya semalam?", Bapak hanya menggeleng lemah dan memaksakan dirinya untuk bangkit
"mana rokokku?", katanya perlahan, aku menarik nafas dan rasanya nafasku tercekat diantara hidung dan tenggorokanku
"kata dokter, Bapak tidak boleh menghisap kretek lagi. sakit Bapak sudah terlalu parah, sebentar saya akan ambilkan air putih", belum sempat aku membalikan tubuhku, Bapak kembali berkata-kata dengan suara lantang
"jangan coba-coba menjadi perempuan jalang itu! aku benci melihat bayangannya di wajahmu, jangan coba-coba menjadi dia!",
dadaku kembali sesak "aku tak mengerti", jawabku datar. aku berlari menuju kamar mandi, kubasuh wajahku dengan air dingin, kubasuh lagi dan lagi berharap wajah perempuan itu tidak melekat lagi di wajahku, berharap tawa kemunafikannya lenyap dari wajah luguku.
senja menjadi semakin cepat menua hari ini, udara dingin terus merayapiku. betapa anehnya suasana ini. Bapak mengurung dirinya di kamar dari pagi tadi, aku hanya sempat menengoknya dari balik pintu, aku tidak mau mengganggunya, mungkin Bapak sedang mendapat inspirasi di atas kanvasnya. setelah senja semakin rapuh, Bapak memanggilku. batuk yang begitu hebat telah menghentikan aktifitasnya.
"tolong ambilkan aku air", pintanya lirih, dengan sigap aku berlari dan mengambilkan segelas air. darah segar mengucur dari hidung dan mulutnya. oh,... Tuhan apa yang terjadi? aku semakin panik sementara di luar cuaca begitu buruk. angin dingin kembali merayapi tubuhku. rasa yang begitu asing kembali menjalariku. lelaki ringkih ini semakin pucat. "Bapak harus bertahan, saya akan panggilkan dokter", aku semakin panik, diluar titik-titik hujan semakin membesar, mengguyur bumi yang begitu gelap.
"jangan tinggalkan Bapak, anakku!", akhirnya keluar juga kata-kata itu, Bapak memanggilku "anak", tapi saat ini bukan waktunya berbangga diri, lelaki ini, Bapakku sudah semakin dekat dengan pintu itu, pintu gelap yang terlalu sempit..
"jangan anakku, Bapak takut sendirian, jangan tinggalkan Bapak. jangan pernah meninggalkan Bapak seperti perempuan laknat itu, Bapak takut. sebentar lagi kereta itu akan datang menjemput, Bapak tidak mau sendirian, tolong temani Bapak disini, untuk terakhir kalinya, Bapak mohon...", suaranya semakin parau,
aku berlari menghambur ke pelukannya. oh,... cerita apa lagi ini, aku tidak rela malaikatku dijemput kereta kuda itu, aku tak ingin laki-laki ini pergi begitu saja setelah ia memanggilku "anak". hatiku semakin ngilu kudekap erat Bapakku, tubuhnya semakin lemas dan nafasnya semakin melemah.
"tak akan kubiarkan kereta itu menjemputmu, malaikatku! aku akan melindungimu disini. menjauhkanmu dari ruang kosong keabadian itu", kenyataannya aku tidak bisa melawan takdir, aku tidak bisa melindungi Bapakku, aku tidak mampu menghentikan laju kereta itu. aku adalah seorang perempuan yang putusa asa di ujung maut.
"anakku, kereta itu semakin mendekatiku, tak ada satu orangpun yang dapat menghentikan lajunya, tidak juga kasih sayang yang kau berikan padaku selama ini, sesungguhnya biarkan aku damai di tengah matahari, aku sangat menyayangimu bidadari kecilku. biarkan aku memejamkan mata ini dengan tenang, biarkan aku melihat senyum tulusmu untuk terakhir kalinya, senyum perempuan laknat yang sangat aku cintai...",
"Bapak....!!!", jeritku pilu, tiba-tiba saja dunia menjadi brtambah gelap.
kereta kuda sudah ada di hadapanku dan laki-laki itu dengan ringan melangkah masuk kedalamnya, tubuh ringkihnya terlalu kecil untuk duduk di singgasananya.
senyum itu, Bapakku tersenyum untuk terakhir kalinya, untuk pergi menjauh, menjauh dan terus menjauh menuju matahari.
fajar mengawali hari yang penuh sembilu ini, tubuh kaku Bapakku masih tergolek di pangkuanku. aku masih bingung, apakah ini hanya mimpi? air mata kembali menggores pipiku, membasuh luka yang teramat dalam. semoga rinai kali ini mampu menghapus duka dalam hidupku.
"terimakasih lelaki kanvasku, kau adalah sebuah kanvas bagi hidupku. begitu putih dan suci, begitu mulia dan penuh cinta",
kini malaikatku dapat tersenyum lega di balik matahari yang perlahan mengembul dari balik bukit,,,,,
0 komentar:
Posting Komentar