Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Selasa, 15 Juni 2010

cerpen : KISAH LAMA

Selasa, 15 Juni 2010
KISAH LAMA
Oleh : Ari Laksmi 2010

Kutinggalkan Roy yang masih berdiri mematung menatap laut senja di pantai timur. Tak seperti yang aku harapkan, Roy tak mencegah kepergianku, dia tak mengucapkan sepatah katapun padahal aku masih ingin melihat wajah klimisnya yang kian tirus. Angin senja mempermainkan rambut hitamku yang panjang. Cincin Roy masih aku pegang erat, aku tak kuasa membuangnya, aku terlalu munafik jika aku harus menghapus segala kenanganku dengannya. Aku masih belum mau kenangan itu tenggelam di dasar lautan. Aku terus berlari menjauhi seorang Roy yang masih saja membisu entahlah apakah dia senang atau tidak dengan keputusanku ini.
Mama melihatku masuk ke kamar tanpa suara, masa bodoh aku tidak mau tahu dengan yang lainnya. Saat ini aku hanya ingin sendir, tiba-tiba saja seseorang telah memegang pundakku. Tubuhku terasa bergetar heba. Aku peluk erat-erat Mama, aku ingin menumpahkan semua perasaanku tapi sayangnya bibirku terlalu kelu untuk mengucapkan sepatah kata… “sudahlah Maria, mungkin ini sudah menjadi takdir Tuhan. Biarkan Roy pergi dengan keluarganya karena mungkin saja Ia tidak bisa terus bersamamu. Sadarilah kalau kalian masing-masing memiliki kehidupan!” , “tapi Ma,………………” , Mama menutup mulutku dengan telunjuknya dan memelukku erat. “Ma, Roy tak akan pergi beberapa bulan tapi dia akan pergi untuk beberapa tahun dan Maria tidak tahu apakah dia akan kembali atau tidak!” , dengan sekuat tenaga aku mencoba mengeluarkan kata-kata itu. “Maria, percayalah jika Tuhan sudah mempercayai Roy sebagai takdirmu, dia pasti akan kembali”.
Harus aku katakan apa lagi, aku hanya bisa diam menunggu air mataku berhenti mengalir. Sampai malam larut menjadi sebuah warna yang pekat, Roy belum juga mengabariku, aku tahu Roy tersinggung atas sikapku sore tadi tapi itu adalah bagian dari kehidupan aku harus merelakannya. Status keluargaku berbeda dengan Roy, Mamaku adalah seorang pedagang kue kecil-kecilan. Untuk berharap melanjutkan study ke luar negeri adalah mimpi buruk bagiku. Papa yang dulunya adalah seorang kuli tinta kini sudah pergi menghadap Tuhan Jesus, tak ada lagi yang bisa kuharapkan selain bekerja keras. Kemarin siang Roy mengabariku katanya dia akan pergi ke suatu tempat yang dalam pikirankku pun tak pernah terlintas, Roy akan melanjutkan studinya disana, dan dua hari lagi, dia sudah harus berangkat ke sana. Aku tak tahu sejak kapan Mama berada di sampingku, aku terlalu asyik berangan-angan menjadi seorang Maria yang memiliki segalanya.
“tidurlah, Maria! Tolong ini adalah permintaan Mama. Lupakan Roy!” , aku terkejut, mata Mama nanar dan aku yakin sebentar lagi Mama pasti menangis
“ kenapa Mama berkata seperti itu?” , Mama menunduk lesu, digigitnya bibirnya keras-keras.
“Ma, kenapa Ma?”
“sudahlah! Mimpimu terlalu melambung tinggi, Maria”.
Pagi ini adalah pagi yang menyakitkan untukku, walaupun matahari bersinar seperti biasanya tetapi jauh di hatiku terasa mendung sedang bergelayut tebal menutup celah-celah terangnya. Roy tak datang menemuiku padahal dari tadi aku sudah mempersiapkan diri memakai pakaianku yang paling bagus agar Roy nantinya tidak kecewa melihat keadaanku.
Pukul satu siang, Roy tak kunjung tiba aku hanya bisa menangis menghapus segala perasaan kecewa yang menyesakkan dadaku, tiba-tiba saja aku ingin menyalahkan diriku sendiri, mengapa aku harus mengenal makhluk yang bernama Roy Herlambang yang sama saja telah mengiris-iris ntawaku menjadi seratus bagian.
Kukumpulkan sisa-sisa keberanianku untuk pergi melihat Roy, barangkali saja dia masih di rumah, sama seperti aku mengharapkan kehadiranku disana. Kutahan langkahku saat tiba didepan pintu gerbang tinggi dengan sebuah rumah mewah bercat putih.
“cari siapa?” , aku tersentak rasanya aku baru saja terkena arus listrik ratusan volt.
“maaf, apa saya bisa bertemu dengan Roy Herlambang?” , satpam disebelahku tersenyum kecut.
“anda siapa?”
“saya temannya dulu”
“maaf, pak Joseph Herlambang dan seluruh keluarganya sudah pergi tadi pagi kira-kira pukul delapan”.
Rasanya aku ingin lari sejauh-jauhnya dan mulai menggali lubang untuk mengubur semua kenanganku bersama Roy. Kakiku bergetar hebat, kini tak ada lagi yang bisa kuharapkan selain mencoba menikmati detik-detik sepi yang menyakitkan. Pulang dari rumah Roy aku langsung menemui Mama ke tokonya.
“apa kamu menemuinya?” , Mama menghampiriku dan menatap tajam-tajam kedua bola mataku.
“iya, tadi Maria kesana mencoba menemuinya, ingin mengucapkan selamat jalan, tapi dia dan keluarganya katanya sudah pergi tadi pagi-pagi sekali” , aku coba membuat senyum yang termanis dihadapan Mama, tapi Mama tidak terlalu bodoh untuk kukelabui…. Mama meremas jari-jari tanganku yang sangat kurus.
“bukalah kaca matamu, Maria! Mama tahu kamu terlalu sedih kehilangan Roy, kamu berbuat lain di hadapan Mama karena ingin Mama percaya padamu bahwa kamu sudah betul-betul telah melupakan Roy Herlambang” , aku tatap Mama, tapi untuk detik berikutnya cepat-cepat kupalingkan wajahku ke jalan raya. Mama tak ingin mengomentariku lagi, Ia masuk kedalam dan membiarkanku sendiri menikmati perasaanku.
Senja kedua saat aku kehilangan Roy, pantai dan laut yang sama saat terakhir kali aku menemukan wajah Roy yang masih terlalu segar dalam ingatanku. Angin yang sama pula seakan-akan ingin menerbangkanku mencari Roy di suatu tempat. Pasir-pasir hitam telah mengotori kakiku, aku tahu Roy pasti merindukanku. Setiap detik yang terlintas hanyalah wajah sesal Roy.
Sebulan telah berlalu, tak ada kabar dari Roy. Roy seakan-akan hilang ditelan bumi. Salahku sendiri nama Roy sudah terpasung di hatiku. Mengapa harus kubiarkan kenangannya hidup di jiwaku? Aku merasa terlalu bodoh. Mama datang membawa beberapa surat yang harus dilengkapi.
“Maria, tolong kamu urus surat ini. Mama mau secepatnya kita pindah dari kota kecil ini” , “tidaklah ini terlalu singkat Ma?” , “Maria, kita akan kembali tiga tahun lagi setelah apa yang ada di pikiranmu sedikit demi sedikit bisa hilang” , “tapi Ma, bisnis Mama disini sudah tergolong sukses. Maria tidak mau mematahkan usaha Mama” , “kamu adalah hal yang paling berarti buat Mama!” , setelah mengucapkan kata-kata itu aku diam, aku tak ingin mencoba bernegosiasi lagi dengan Mamaku.
Tiga tahun membuatku merasa benar-benar telah melupakan Roy. Aku tak ingat lagi saat terakhir melihat mata sendunya. Aku sudah membangun hidupku sendiri dengan hati yang paling kuat yang telah kupersiapkan selama tiga tahun. Mama adalah kekasih setiaku yang telah memberikan sedikit nafas untuk tersenyum, untuk menikmati segala perasaan sakit menjadi sebuah tantangan yang mengasyikan. Aku kembali kerumah lamaku, kulihat tembok pucatnya seperti sebuah layar yang memaparkan semua kejadian yang telah kualami di kota kecil ini tapi cepat-cepat aku hapus, aku tak ingin usaha Mama untukku menjadi sia-sia.
“bagaimana perasaanmu Maria?” , Mama membelai rambutku. “ Maria seakan-akan menjadi manusia baru, Ma!” , Mama tersenyum dan memelukku erat. “terimakasih Maria”.
Seminggu lagi akan ada perayaan malam natal. Aku terlalu sibuk mempersiapkan peralatannya baik di gereja maupun di rumah kecilku. Hari demi hari membuatku semakin merasa tidak enak. Aku tak tahu entah perasaan apa itu. Aku merasa ada sesuatu yang akan terjadi.
Malam natal yang kutunggu, tepat pukul tujuh malam aku berangkat ke Gereja. Orang-orang telah berkumpul disana, hanya bangku paling yang masih tersisa. Aku mencoba duduk dengan tenang melihat terang cahaya lilin memberikan sinar di hatiku, kupejamkan mata untuk sekian lamanya saat kubuka kembali aku menoleh pelan ke samping, seseorang sedang memperhatikanku sangat dekat, dan terlalu dekat hingga nafas dan senyumnya yang pernah kuakrabi dulu seakan-akan hidup lagi. Aku tak bisa menggerakkan mulutku, aku terlalu kaget.
“selamat Natal, Maria!”, pelan-pelan aku sambut tangannya. “Roy, betulkah kau ini? Apa aku cuma bermimpi?”, Roy tersenyum dan mencoba menyadarkanku. “tidak Maria, kamu tidak sedang bermimpi, aku disini dihadapanmu. Maria tolong maafkan aku. Aku sudah mengecewakanmu” , “Roy jangan berkata seperti itu, akulah yang bersalah” , “ tak ada yang perlu disalahkan. Saat itu kita sama-sama egois dan menutup diri” .
Tiba-tiba saja Mama tidak terlalu memperhitungkan pertemuanku dengan Roy lagi. Roy memberikanku secarik kertas. “bacalah Maria! Aku menulisnya tiga tahun lalu”, aku membaca pelan-pelan kalimat yang ada dikertas itu. Takut kalau-kalau air mataku akan mengalir deras. “ayolah!” , aku mengangguk setuju dan kutarik nafasku dalam-dalam
“terjaga dan mendapatimu pagi hari, seindah membuka jendela dan disambut embun subuh hari, mencecap garang surya tengah hari dan bersamamu seperti terteduhi, dan senja menjadi jingga diatas laut saat ombak menyapa dua wajah kita. Memilikimu adalah menghiasi hariku menjadi berwarna” .
Aku masih terbelalak, seakan-akan tak percaya tentang apa yang kualami hari ini. “terimakasih Maria, maukah kau menerima tawaranku? Menjadi kekasihku untuk kedua kalinya?”, aku tak bisa berkata apa-apa. Mulutku masih terkunci. Mama menghampiriku, “ karena Roy adalah takdirmu!” , aku memeluk Roy. “aku tak akan pergi lagi Maria” , “terimakasih Roy, ini adalah hadiah natal paling berharga dalam hidupku. Ternyata kisah lama tak saja menyakitiku. Aku masih mengharapkanmu Roy” ,
Dan malam natal ini telah mengubah kehidupanku lagi…

0 komentar: